UUDS 1950

Pada waktu berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat dan Undang-Undang Dasar Sementara penyelenggaraan pemerintahan negara menganut sistem pemerintahan Kabinet Parlementer.

Berdasarkan maklumat pemerintah tanggal 3 November 1945, maka timbullah partai-partai politik yang jumlahnya sangat banyak, yakni 28 partai.

Pemilu tahun 1955 diadakan 2 kali yaitu :

  1. Pemilu I, tanggal 19 September 1955 untuk memilih anggota parlementer (DPR)
  2. Pemilu II, tanggal 15 Desember 1955 untuk memilih anggota konstituante.

Sistem Kabinet Parlementer pada masa berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat belum berjalan sebagaimana mestinya, sebab belum terbentuk Dewan Perwakilan Rakyat hasil pemilihan umum, sedangkan pada waktu berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara, Sistem Kabinet Parlementer baru berjalan sebagaimana mestinya, setelah terbentuk Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan pemilihan umum tahun 1955 tersebut.

Badan Konstituante bertugas membentuk UUD yang baru. Dalam menjalankan tugas badan konstituante tidak pernah membuahkan hasil, padahal kondisi negara dalam keadaan yang memprihatinkan.

Berdasarkan keadaan darurat luar biasa ini demi persatuan, kesatuan dan stabilitas nasional presiden Soekarno mengeluarkan “Dekrit Presiden 5 Juli 1959” yang isinya:

  1. Pembubaran Badan Konstituante
  2. Berlaku kembali UUD 1945 dan tidak memberlakukan UUDS
  3. Pembentukan MPR dan DPAS (Dewan Pertimbangan Agung Sementara)

Pada masa UUDS 1950 (17 Agustus 1950-5 Juli 1959) terjadi sebuah dinamika politik dan hukum di Indonesia. Setelah terjadi perubahan UUD di Indonesia dari UUD 1945, kemudian diganti dengan UUD – RIS (pada masa pergantian RI menjadi RIS), setelah itu diganti dengan UUDS 1950.

Sebuah proses panjang yang harus digali bersama. Akan tetapi, proses panjang itu akan kita bahas pada sub yang cukup menarik yaitu tentang lembaga-lembaga negara. Hal ini, sebagaimana kita tahu bahwa pada masa UUDS 1950 juga telah ada pembagian kekuasaan mulai dari legeslatif, yudikatif dan eksekutif.

A. SEJARAH UUDS 1950

UUDS 1950 merupakan undang-undang sementraa setelah sebelumnya terdapat UUD RIS, atau UUDS 1950 merupakan undang-undang transisi masa peralihan dari UUD RIS menuju pemberlakuan kembali UUD 1945.

Dalam UUDS diatur juga tentang pembagian kekuasaan dari Presiden, Wakil Presiden, Mentri-Mentri, Dewan Perwakilan Rakyat, Mahkamah Agung, Dewan Pengawas Keuangan. Setiap lembaga memiliki tugas dan wewenang yang berbeda.

Berdasarkan Pasal 51 UUDS 1950 ”Presiden menunjuk seorang atau beberapa orang pembentuk kabinet setelah itu sesuai dengan anjuran pembentuk kabinet presiden mengangkat seorang menjadi perdana mentri dan mengangkat mentri-mentri yang lain”. Kekuasaan legeslatif dipegang oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

Dewan Perwakilan Rakyat mewakili seluruh rakyat Indonesia dan terdiri sejumlah anggota yang besarnya ditetapkan berdasarkan atas perhitungan setiap 300.000 jiwa penduduk WNI mempunyai seorang wakil (Pasal 56 UUDS 1950).

Kekuasaan yudikatif dijalankan oleh Mahkamah Agung dan Dewan Pengawas Keuangan.

Mahkamah Agung adalah pengadilan negara tertinggi (Pasal 105 Ayat 1 UUDS 1950). Selain Makamah Agung dalam lembaga yudikatif juga ada DPK (Dewan Pengawas Keuangan).

Pengangkatan anggota Dewan Pengawas Keuangan seumur hidup, undang-undang menetapakan ketua, wakil ketua dan anggotanya dapat diberhentikan apabila mencapai usia tertentu.

Dalam periode ini UUD RIS (1949) merupakan perubahan sementara karena bangsa Indonesia menghendaki persatuan dan akhirnya negara kesatuan RI yang sesuai dengan UUD yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 dengan dibentuk RUUD (Rancangan Undang-Undang Darurat) baru pada tanggal 12 Agustus 1950 oleh BPKNP (Baadan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat) dan DPR UUD 1945 masih terdapat pasal-pasal, perubahan UUD tersebut dan ketika konstituante sidang selama kurang dari 2 setengah tahun belum selesai dan juga situasi tanah air di khawatirkan akan timbul perpecahan.

Dengan situasi tersebut pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno membacakan dekritnya, yang dikenal dengan Dekrit 5 Juli 1959.

B. LEMBAGA PADA MASA UUDS

Lembaga-lembaga negara yang ada pada masa berlakunya UUDS yaitu pada periode 17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959 menurut UUDS pasal 44 lembaga negara yang ada yaitu:

  1. Presiden dan Wakil Presiden
  2. Menteri-menteri
  3. Dewan Perwakilan Rakyat
  4. Mahkamah Agung
  5. Dewan Pengawas Keuangan.

Dari penjelasan diatas kita bisa mengetahui bahwa sudah ada pembagian kekuasaan yang jelas antara eksekutif, legeslatif, dan yudikatif.

Presiden yang berkedudukan sebagai kepala negara dibantu oleh wakil presiden, sedangkan mentri sebagai eksekutif atau pelaksana pemerintahan.

Berdasarkan Pasal 51 UUDS 1950 ”Presiden menunjuk seorang atau beberapa orang pembentuk kabinet setelah itu sesuai dengan anjuran pembentuk kabinet presiden mengangkat seorang menjadi perdana mentri dan mengangkat mentri-mentri yang lain”.

Mentri-mentri beratanggungjawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah baik bersama-sama untuk seluruhnya maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri.

Sebagai kepala negara berdasarkan pasal 84 presiden berhak untuk membubarkan DPR. ”Kekuasaan legeslatif dipegang oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

Dewan Perwakilan Rakyat mewakili seluruh rakyat Indonesia dan terdiri sejumlah anggota yang besarnya ditetapkan berdasarkan atas perhitungan setiap 300.000 jiwa penduduk WNI mempunyai seorang wakil (Pasal 56 UUDS 1950).

Dewan Perwakilan Rakyat dipilih untuk masa 4 tahun. Dan keanggotan DPR tidak dapat dirangkap oleh lembaga lainnya, hal ini agar tidak tumpang tindih dalam pembagian kekuasaan.

Seorang anggota DPR yang merangkap dalam lembaga lainnya tidak boleh mempergunakan hak dan kewajiban sebagai anggota badan tersebut selama ia memangku jabatan ganda.

Dalam wewenangnya DPR berhak untuk mengajukan usul Undang-undang kepada pemerintah dan berhak mengadakan perubahan-perubahan dalam usul Undang-undang yang diajukan oleh pemerintah kepada DPR. Apabila akan mengusulkan Undang-undang maka mengirimkan usul itu untuk disahkan oleh pemerintah kepada presiden.

Kekuasaan yudikatif dijalankan oleh Mahkamah Agung dan Dewan Pengawas Keuangan. Mahkamah Agung adalah pengadilan negara tertinggi (Pasal 105 Ayat 1 UUDS 1950).

Sebagai lembaga yudikatif atau pengawas dari pelaksanaan UUDS, pengangkatan Mahkamah Agung adalah untuk seumur hidup.

Mahkamah Agung dapat dipecat atau diberhentikan menurut cara dan ditentukan oleh undang-undang (Pasal 79 Ayat 3 UUDS 1950), selain itu diatur pada pasal yang sama ayat berbeda yaitu ayat 4 disebutkan bahwa ” Mahkamah Agung dapat diberhentikan oleh Presiden atas permintaan sendiri”.

Selain sebagai pengawas atas perbuatan pengadilan-pengadilan yang lain, Mahkamah Agung juga memberi nasehat kepada Presiden dalam pemutusan pemberian hak grasi oleh presiden.

Selain Makamah Agung dalam lembaga yudikatif juga ada DPK (Dewan Pengawas Keuangan). Pengangkatan anggota DPK seumur hidup, undang-undang menetapakan ketua, wakil ketua dan anggotanya dapat diberhentikan apabila mencapai usia tertentu. DPK dapat diberhentikan oleh presiden atas permintaan sendiri

Pada periode ini diberlakukan sistem Demokrasi Parlementer yang sering disebut Demokrasi Liberal dan diberlakukan UUDS 1950. Perlulah diketahui bahwa demokrasi ini yang dibahas oleh kelompok kami berbeda dengan demokrasi selama kurun waktu 1949 – 1950.

Pada periode itu berlaku Konstitusi RIS. Indonesia dibagi dalam beberapa negara bagian. Sistem pemerintahan yang dianut ialah Demokrasi Parlementer (Sistem Demokrasi Liberal).

Pemerintahan dijalankan oleh Perdana Menteri dan Presiden hanya sebagai lambang. Karena pada umumnya rakyat menolak RIS, sehingga tanggal 17 Agustus 1950 Presiden Soekarno menyatakan kembali ke Negara Kesatuan dengan UUDS 1950.

Pandangan Umum, Karena Kabinet selalu silih berganti, akibatnya pembangunan tidak berjalan lancar, masing-masing partai lebih memperhatikan kepentingan partai atau golongannya.

Faktor yang menyebabkan seringnya terjadi pergantian kabinet pada masa Demokrasi Liberal yaitu, pada tahun 1950, setelah dari Republik Indonesia Serikat (RIS) menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Indonesia mulai menganut sistem Demokrasi Liberal dimana dalam sistem ini pemerintahan berbentuk parlementer sehingga perdana menteri langsung bertanggung jawab kepada parlemen (DPR) yang terdiri dari kekuatan-kekuatan partai. Anggota DPR berjumlah 232 orang yang terdiri dari Masyumi (49 kursi), PNI (36 kursi), PSI (17 kursi), PKI (13 kursi), Partai Katholik (9 kursi), Partai Kristen (5 kursi), dan Murba (4 kursi), sedangkan sisa kursi dibagikan kepada partai-partai atau perorangan, yang tak satupun dari mereka mendapat lebih dari 17 kursi.

Ini merupakan suatu struktur yang tidak menopang suatu pemerintahan-pemerintahan yang kuat, tetapi umumnya diyakini bahwa struktur kepartaian tersebut akan disederhanakan apabila pemilihan umum dilaksanakan.

Selama kurun waktu 1950-1959 sering kali terjadi pergantian kabinet yang menyebabkan instabilitas politik. Parlemen mudah mengeluarkan mosi tidak percaya terhadap kabinet sehingga koalisi partai yang ada di kabinet menarik diri dan kabinetpun jatuh. Sementara Sukarno selaku Presiden tidak memiliki kekuasaan secara riil kecuali menunjuk para formatur untuk membentuk kabinet-kabinet baru, suatu tugas yang sering kali melibatkan negosiasi-negosiasi yang rumit.

Kabinet Koalisi yang diharapkan dapat memperkuat posisi kabinet dan dapat didukung penuh oleh partai-partai di parlemen ternyata tidak mengurangi panasnya persaingan perebutan kekuasaan antar elite politik.

Semenjak kabinet Natsir, para formatur berusaha untuk melakukan koalisi dengan partai besar. Dalam hal ini, Masjumi dan PNI. Mereka sadar betul bahwa sistem kabinet parlementer sangat bergantung pada basis dukungan di parlemen.

Penyebab kabinet mengalami jatuh bangun pada masa demokrasi liberal adalah akibat kebijkaan-kebijakan yang dalam pandangan parlemen tidak menguntungkan Indonesia ataupun dianggap tidak mampu meredam pemberontakan-pemberontakan di daerah. Sementara keberlangsungan pemerintah sangat ditentukan oleh dukungan di parlemen.

Setelah negara RI dengan UUDS 1950 dan sistem Demokrasi Liberal yang dialami rakyat Indonesia selama hampir 9 tahun, maka rakyat Indonesia sadar bahwa UUDS 1950 dengan sistem Demokrasi Liberal tidak cocok, karena tidak sesuai dengan jiwa Pancasila dan UUD 1945. Akhirnya Presiden menganggap bahwa keadaan ketatanegaraan Indonesia membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa dan negara serta berencana untuk mencapai masyarakat adil dan makmur; sehingga pada tanggal 5 Juli 1959 mengumumkan dekrit mengenai pembubaran Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945 serta tidak berlakunya UUDS 1950.

 

 

Leave a comment